Bila disebut herbal, maka Indonesia adalah salah satu laboratorium
tanaman obat terbesar di dunia. Sekitar 80 persen herbal dunia tumbuh di
negara ini dan nenek moyang kita memanfaatkan flora kekayaan alam itu
dengan cerdas. Mereka meraciknya menjadi jamu untuk menyebut ramuan dari
tanaman obat.
Jamu berasal dari bahasa Jawa Kuno Jampi atau
usodo, artinya penyembuhan menggunakan ramuan, doa, dan ajian.
Bukti-bukti pemakaian jamu di masa lalu bisa dilihat lewat peninggalan
sejarah tulisan di daun lontar hingga relief candi.
Bagi
masyarakat, jamu atau ramuan obat tradisional sudah menjadi bagian dari
upaya menjaga kesehatan dan kebugaran. Tidak hanya orang biasa, para
petinggi pemerintahan pun banyak yang punya kebiasaan mengonsumsi jamu.
Salah
satunya adalah calon gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Ketika kembali
ke Solo, sehari setelah pemungutan suara Pemilukada DKI putaran 2, hal
pertama yang ia lakukan sesampainya di rumah dinas Wali Kota Surakarta,
Loji Gandrung, adalah langsung minum jamu.
"Saya butuh tidur
semalam. Jamunya nanti yang buatkan istri saya, jamu temulawak dan
madu," kata pria yang akrab disapa Jokowi itu seperti dikutip harian
Warta Kota (Sabtu, 22/9/12).
Belum terstandar
Menurut
data Riset Kesehatan Dasar 2010, sekitar 59,12 persen orang Indonesia
menggunakan obat herbal. Dari jumlah tersebut, 95,6 persen orang yang
pernah minum jamu mengaku merasakan manfaatnya.
Obat tradisional
diketahui bisa mencegah dan mengobati berbagai macam penyakit, seperti
penyakit jantung koroner, stroke, prostat, rematik, antikolesterol,
diabetes, osteoporosis, malaria, diare, hingga hipertensi.
Kendati
demikian, menurut Abidinsyah Siregar, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan
Tradisional, Alternatif dan Komplementer Kementrian Kesehatan,
diperlukan kearifan dalam memanfaatkan obat tradisional.
"Setiap
budaya memiliki cara yang berbeda-beda dalam pengolahan meski bahan
baku herbalnya sama. Karena belum terstandar itu perlu kearifan dalam
memanfaatkan obat herbal," katanya dalam sebuah acara media edukasi
mengenai obat herbal beberapa waktu silam di Jakarta.
Pada
dasarnya, ada tiga jenis produk herbal, yaitu jamu tradisional, Obat
Herbal Terstandar (ada standardisasi bahan baku), dan fitofarmaka (telah
melalui uji praklinis dan uji klinik sama dengan obat konvensional).
Meski
potensinya besar, belum banyak industri obat herbal yang menempuh uji
praklinik dan uji klinik. Menurut Abidinsyah, saat ini kita baru
memiliki 38 jenis herbal terstandar dan 6 fitofarmaka.
Produk
jamu antimasuk angin, Antangin produksi Deltomed, merupakan salah satu
produk yang sudah lulus uji praklinis dan dinyatakan sebagai obat herbal
terstandar. Menurut dr.Abrijanto, Bisnis Development Manager
PT.Deltomed, Antangin sudah diuji untuk mengetahui efek toksisitasnya
dalam pemakaian jangka pendek dan jangka panjang.
"Dalam
pengujian toksisitas subkronik diketahui tidak ada efek toksik pada
organ-organ tubuh tikus di laboratorium. Selain itu, konsumsi sirup
antimasuk angin ini juga terbukti meningkatkan ketahanan fisik," kata
Abrijanto.
Terintegrasi
Meskipun sudah
lama dipakai oleh masyarakat, tetapi obat tradisional masih
terpinggirkan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Dibandingkan
dengan China, India, atau Korea, yang pengobatan herbalnya berdampingan
dengan pengobatan modern, di tanah air pengobatan herbal masih dianggap
sebagai pengobatan alternatif.
Guru Besar Tetap Ilmu Farmasi
FMIPA Universitas Indonesia, Maksum Radji, menjelaskan, pendekatan obat
tradisional memang berbeda dengan obat medis. Apabila obat herbal
dilakukan standarisasi sesuai dengan pedoman pengembangan obat secara
ilmiah, maka bisa dimanfaatkan dalam pengobatan modern.
"Itu
berarti perlu melalui berbagai tahapan sesuai dengan kaidah-kaidah
ilmiah, mulai dari uji praklinik dan uji klinik," kata Prof.Maksum.
Upaya
untuk mengintegrasikan pengobatan tradisional dalam pelayanan kesehatan
sebenarnya sudah dicanangkan mantan Menteri Kesehatan Almarhum Endang
Sedyangingsih melalui program saintifikasi jamu.
Menurut
penjelasan Abidinsyah, saat ini sudah ada 40 rumah sakit pemerintah dan
219 puskesmas yang memberi pelayanan kesehatan tradisional, alternatif,
dan komplementer terintegrasi.
Integrasi pengobatan tradisional
ke dalam sistem kesehatan terpadu, menurut Prof.Maksum, akan mempercepat
penggunaan obat herbal yang tepat dan aman. Untuk itu diperlukan
langkah-langkah strategis yang didukung oleh pemerintah, misalnya
membuat model klinik herbal yang terintegrasi, dimana dalam pelayanan
tersebut ada beberapa tenaga kesehatan yang bekerja memberikan pelayanan
pada pasien.
Di dalam model klinik tersebut ada dokter yang
menekuni herbal medik, ada apoteker spesialisasi obat herbal sehingga
diagnosis dan pemberian obat herbal yang diberikan betul-betul dapat
dimonitor oleh pada tenaga kesehatan yang kompeten, baik dosis, efek
obat maupun efek sampingnya.
"Bila model klinik herbal ini
berhasil, perlu terus menerus dikembangkan di beberapa rumah sakit,
sejalan dengan program saintifikasi jamu yang dicanangkan oleh
pemerintah," papar peneliti terbaik Universitas Indonesia ini.
Produsen
juga harus dipacu untuk meningkatkan status produknya menjadi obat
herbal terstandar atau fitofarmaka untuk meyakinkan keamanan produknya.
Dengan demikian profil penelitian obat herbal di Indonesia harus mulai
ditingkatkan dari penelitian biomedik ke penelitian klinik.
"Hal
ini memang merupakan tantangan tersendiri baik bagi para peneliti obat
herbal maupun produsen jamu, karena proses uji klinik itu membutuhkan
biaya investasi yang cukup besar," katanya.
Ke depan, Indonesia
memang harus berani memulai penelitian obat tradisional agar lebih aman
digunakan dan tidak didahului dan justru dipatenkan oleh bangsa lain